A. Pengertian Hawalah
Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan
warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al
hawalah didefinisikan dengan: Pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang
membayar hutang (al Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al muhtal alaih)[1][1][1].
-
Menurut Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hawalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
Artinya: “Pemindahan
kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”[2][2][2].
-
Menurut Idris Ahmad, Hawalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan
utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang
lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
-
Sedangkan menurut Fuqaha bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan
suatu muamalah yang memandang persetujuan dari kedua belah pihak.[3][3][3]
B. Ketentuan Hawalah
1. Dasar Hukum Hiwalah
Hawalah sebagai salah
satu bentuk transaksi antar sesama manusia dibenarkan oleh Rasulullah SAW
melalui sabda beliau:
مطل الغنى ضلم واذا اتبع
احدكم على ملى فا ليتبع ( رواه ا لجما عة)
Artinya: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan dholim jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaknya ia berani (H.R al Jama’ah).
Disamping itu terdapat
kesepakan oleh ulama’ (ijma’) mengatakan bahwa tindakan hawalah boleh
dilakukan.
2. Macam-macam Hawalah
Mazhab Hanafi membagi
hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, hawalah dapat
dibagi dua:
a. Hawalah al Haqq: ialah
Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang.
b. Hawalah Ad-dain: Yaitu
apabila yang dipindahkan itu kewajiban membayar hutang.
Dari sisi lain hiwalah
terbagi menjadi dua:
a. Al Hawalah al
Muqoyyadah: (Pemindahan bersyarat ) yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran
utang pihak pertama kepada pihak kedua.
b. Al Hawalah al
Muthlaqah: (Pemindahan mutlak) yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan
sebagsi ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.[4][4][4]
3. Rukun Hawalah
Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah
a. Ijab (peryataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama.
b. Qabul (peryataan
menerima hiwalah) dari pihak kedua dan ketiga.
Sedangkan menurut
jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah, syafiinya dan hanabilah, rukun
hawalah ada 6 yaitu:
a. Pihak pertama
b. Pihak kedua
c. Pihak ketiga
d. Utang pihak pertama
kepada pihak kedua
e. Utang pihak ketiga
kepada pihak pertama
4. Syarat-Syarat Hawalah
Para ulama fiqih dari
kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya
syarat-syarat yang berkaitan dengan
pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu
sendiri,
syarat-syarat pihak
pertama yaitu:
a. Baliq dan berakal
b. Ada peryataan
persetujuan
Syarat-syarat Pihak
kedua yaitu:
a. Baliq dan berakal
b. Adanya persetujuan
pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah, atas pertimbangan
kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda.
Syarat-Syarat Pihak
ketiga yaitu:
a. Baliq dan berakal
b. Menuru hanafi
mensyaratkan Adanya peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab
lainya tidak mensyaratkan hal itu.[6][6][6]
Syarat-syarat yang
diperlukan terhadap al Muhalbih,
a. Yang dialihkan itu
adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
b. Apabila penggalihan
hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik
utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak
pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
c. Ulama dari madzhab
syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo
pembayarannya.
C. Berakhirnya Akad Hawalah
1. Salah situ pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatalkan) akad hawalah sebelum
akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan
akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang
kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.Pihak ketiga melunasi utang
yang diahhkan itu kepada pihak kedua.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli
waris yang mewarisi harta pihak kedua.
2.
Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta
yang merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
3.
Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya
untuk membayar utang yang dialihkan itu.
4.
Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat
dipenuhi karena at-tawa, yaitu:
pihak ketiga mengalami mullis (muflis, bangkrut),
atau wafat dalam keadaan muflis atau, dalam keadaan tidak
ada bukti otentik tenting akad hawalah,